Redesain Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung Dengan Pendekatan Adaptive Reuse
Abstrak
Gedung Kesenian Rumentang Siang merupakan salah satu gedung pertunjukkan yang masih aktif di Kota Bandung, meskipun fasilitasnya sudah kuno. Gedung ini awalnya dibangun sebagai gedung bioskop dan di alih fungsikan. Kota Bandung merupakan kota dengan beragam komunitas seni dan seniman yang sedang berkembang. Kota Bandung memiliki lebih dari 887 jenis kesenian yang tersebar di berbagai sanggar, komunitas, dan padepokan. Meskipun Kota Bandung begitu kaya akan seni, masalah yang dihadapi adalah kurangnya gedung pertunjukkan yang sesuai dan memadai. Hal ini menjadi masalah karena terbatasnya ruang dan lahan yang dapat digunakan untuk membangun gedung pertunjukkan baru akibat padatnya penduduk di kota ini. Pengoptimalan gedung yang ada dapat menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi dan memfasilitasi penggiat seni yang jumlahnya semakin banyak. Dengan banyaknya pertunjukkan seni yang diadakan, Gedung Rumentang Siang yang merupakan salah satu gedung heritage yang digunakan sebagai gedung pertunjukan hanya akan semakin terbebani. Pendekatan adaptive reuse biasa digunakan pada bangunan heritage dalam pelestariannya agar tidak mengurangi nilai sejarah yang terdapat pada bangunan tersebut. Perancangan gedung pertunjukan Rumentang Siang ini diharapkan dapat menciptakan gedung pertunjukan yang memiliki fasilitas dan aksesibilitas memumpuni untuk memfasilitasi penggiat seni Kota Bandung serta merancang gedung pertunjukan yang terbarukan dengan tetap mempertahankan nilai sejarah dan budaya.
Kata Kunci : gedung pertunjukan, adaptive reuse, bangunan hertage.
Referensi
Adler, D. (2007). Metric Handbook. Routledge.
Agnes, T. (2018). 5 Venue Pertunjukan Seni Ibu Kota yang Mungkin Belum Kamu Ketahui. Diakses 2023, dari https://hot.detik.com/art/d-4264770/5-venue-pertunjukan-seni-ibu-kota-yang-mungkin-belum-kamu-ketahui
Andriani, F. (2021). Omah Teater Jogja di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontemporer (Disertasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta).
Andrianawati, A., Anwar, H., Fidinillah, A., & Goestien, C. S. (2018). Comparative Study of Waiting Space Design for Comfort Visitors of Cinemas XXI Bandung Indah Plaza with CGV Bandung Electronic Center. Vol. 2, Issue 2.
Appleton, I. (2008). Buildings for the Performing Arts. Elsevier.
Artini, K. R. (2006). Pelestarian Art Deco di Indonesia: Suatu Dilema. Jurnal Dimensi Seni Rupa dan Desain, 3(2), 203.
Bollack, F., & Frampton, K. (2013). Old Buildings, New Forms: New Directions in Architectural Transformations.
Budiono, I. Z., Amira, L. N., Syafii, A. D., Farida, A., & Abdulhadi, R. H. W. (2023). Evaluasi Kenyamanan Aktivitas Kerja para Pegawai Berdasarkan Indikator Kenyamanan Termal. Jurnal Desain Interior, 7(2), 99. https://doi.org/10.12962/j12345678.v7i2.15367
Doelle, L. L. (1972). Akustik Lingkungan.
Dwika Aprilian, R., & Widiastuti, I. (2021). The Story of Adaptive Reuse in Jakarta’s Old Building Under the Instagrammable Era.
Faza, H., Rusyda, S., Nur, A., Gunawan, S., Hambali, R., & Abdulhadi, W. (2022). Study of Air Flow on Natural Ventilation at Tawang Station Semarang.
Fikrissalim, M., Rahardjo, S., Widyaevan, D. A., & Joshua, I. (2019). Penyikapan Arsitektur Tropis dalam Mempertahankan Lokalitas Arsitektur Kolonial yang Beralih Fungsi Menjadi Kedai Kopi. ATRAT: Jurnal Seni Rupa, 7(2), 187–204.
Fitch, J. M. (1990). Historic Preservation: Curatorial Management of the Built World. McGraw-Hill.
Fuadona, F. (2016). Banyak Pementasan Teater, Bandung Kekurangan Gedung Pertunjukan. Diakses dari https://bandung.merdeka.com/halo-bandung/read/88485/banyak-pementasan-teater-bandung-kekurangan-gedung-pertunjukan
Ham, R. (1972). Theater Planning. The Architectural Press.
Ismiranti, A., Akhmadi, A., Arumsari, A., Hadiansyah, M., Denandra, A., & Azizah, S. (2023). Method Design of Interactive Digital Devices to Support the Workspace Comfort. International Journal of Visual and Performing Arts, 5, 120–133.
Kusumaningtyas, O. G., & Purnomo, A. D. (n.d.). Adaptive Reuse pada Interior Rumah Bodrie 1934 di Surabaya.
Mediastika, C. E. (2005). Akustika Bangunan: Prinsip-prinsip dan Penerapannya di Indonesia. Erlangga.
Neufert, E. (2002). Data Arsitek (Jilid 1 dan 2). Erlangga.
Niswan, M., Bilada, H., & Sukarelawati, S. (2018). Hubungan Pertunjukan Teater dengan Perilaku Penonton. Jurnal Sosial Humaniora, 9(2), 138–143. https://doi.org/10.30997/jsh.v9i2.1381
Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 17 Tahun 2015 tentang Standar Usaha Gedung Pertunjukan Seni.
Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya.
Putra, Y. C. (2019). Perencanaan dan Perancangan Gedung Pertunjukan dan Kesenian di Kota So’e (Dengan Pendekatan Arsitektur Dekonstruksi) (Skripsi, Universitas Katolik Widya Mandira).
Ramadhan, A., & Mazhi, K. Z. (2022). Kajian Daya Dukung Lahan Perkotaan dalam Rangka Optimalisasi Penataan Ruang Kota Bandung. Journal of Regional and Rural Development Planning, 6(3), 212–232.
Snarski, R. (2019). Guard House Layout | Guad Shack with Restroom Design. Diakses 10 Desember 2023 dari https://guardianbooth.com
Schmidt, R. (2009). Adaptable Futures: A 21st Century Challenge. Noordwijk aan Zee, The Netherlands, 5–9 Oktober 2009.
Strong, J. (Ed.). (2010). Theatre Buildings: A Design Guide. Routledge.
Susanto, H. (2015). Prinsip-Prinsip Akustik dalam Arsitektur. PT Kasinius.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.